“Gempa Bumi dalam Konstruksi Bangunan”
Oleh :
Dr. Ir. Ayuddin, S.T., M.T., IPM., ASEAN Eng
(Peneliti Konstruksi Tahan Gempa)
Guncangan gempa selalu terjadi di banyak tempat dan telah diramalkan oleh beberapa ahli Amerika tentang intensitasnya di tahun 2018. Gempa adalah ciptaan dan kehendak Ilahi, agar kita mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan rendah hati, apalagi karena Indonesia berada di “Cincin Api Pasifik”. Kawasan ring of fire adalah wilayah yang selalu menerima gempa bumi setiap saat. Di kawasan inilah pertemuan lempeng samudra Pasifik yang menyusup ke sejumlah lempeng daratan. Jalur ini membentang 40.000 kilometer mulai dari pantai barat Amerika hingga di kepulauan Pasifik Selatan.
Setiap kali gempa terjadi akan selalu memberi dampak serius atas keselamatan jiwa manusia dan makhluk non manusia. Baru-baru ini, gempa (magnitude 6.4) yang dialami Taiwan pada Rabu 7 Februari 2018 telah terbukti banyak merobohkan banyak bangunan dan memiringkan banyak bangunan tinggi. Korban jiwa pun berjatuhan, termasuk mereka yang belum ditemukan hingga kini. Gempa bumi juga dialami oleh sepenanjung Minahasa, Sulawesi Utara. Apa yang dirujuk sebagai Sepenanjung Minahasa sebenarnya adalah lempengan utara pulau Sulawesi, yang menjulur dari arah Gorontalo ke ujung Utara, hingga ke Bitung. Akibat gempa bumi ini, banyak bangunan di wilayah pedesaan mengalami rusak parah, demikian juga dengan beberapa fasilitas umum, seperti jembatan dan gedung. Secara fisik, kerusakan itu disebut oleh para pakar sebagai “keretakan diagonal”, hal mana biasanya serangkaian dengan kerusakan pondasi. Hal ini bisa sangat fatal akibatnya ketika terjadi gempa bumi susulan, sebagaimana telah diperkirakan oleh beberapa ahli Amerika bahwa di tahun 2018 frekuensi gempa akan meningkat.
Jangan kita lupa bahwa gempa di tanah Jawa juga mulai bermunculan, seperti baru-baru ini mengguncang Lebak, Banten, hingga sebagian Jakarta (magnitude 6.0). Di belahan bumi lainnya, di uatara Samudera Pasifik, tepatnya di Alaska, pada 23 Januari 2018 juga mengalami gempa serius (magnitude 7.9) dan merusak ribuan rumah dan fasilitas umum, bahkan memicu peringatan Tsunami.
Berdasarkan data bencana gempa inilah yang membuat ilmuan Amerika Serikat, Robert Bilham dari Universitas Colorado dan Rebecca Bendick dari Universitas Montana mengeluarkan pernyataan terbuka berdasarkan hasil riset di Geological Society of America pada Oktober 2017 lalu. Mereka berpendapat bahwa frekuensi gempa akan meningkat signifikan tahun ini. Pandangan ini berdasarkan proposisi mereka tentang korelasi antara perlambatan soradis rotasi bumi dan peningkatan jumlah gempa dahsyat dan gelombang gempa bumi sepanjang 2018. Pandangan penting lain yang diungkapkan oleh peneliti Amerika ini adalah bahwa frekuensi gempa bumi dahsyat lebih berpotensi terjadi di kawasan Khatulistiwa (daerah tropis).
Riset di atas belum tentu terbukti secara empiris, bahkan saya juga skeptis dengan hipotesis “perlambatan rotasi bumi” yang didasarkan pada data statistik 100 tahun terakhir. Dalam pemahaman saya, kita belum mempunyai dasar yang kuat untuk mendukung kesimpulan Bilham dan bendick (2017) di atas. Saya lebih melihat bahwa gempa bumi dan fenomena perlambatan rotasi bumi tidak terkait. Tingkat gempa bumi sangat fluktuatif di sekitar lintasan lempengan dunia dan begitu banyak penjelasan tentang fluktuasi tersebut selama bertahun-tahun (misalnya Super Moon, Jurnal Control, Earth Orbit, Eccentricity, dll).
Saya tidak bermaksud menguji hipotesis ini lebih jauh, akan tetapi memang perlu menjadi perhatian serius kita bahwa kalau prediksi Bilham dan bendick (2017) benar. Maka dalam hubungannya dengan bangunan yang akan dibangun dan/atau yang telah terbangun saat ini (kasus kita di Indonesia, KTI) kita haruslah mencermati kembali kekuatannya. Sebelum kita, warga biasa, atau negara/pemerintah sebagai eksekutif di bidang infrastruktur, ketika membangun rumah, gedung, jembatan dsb, haruslah benar-benar didesain dan dianalisis dengan super teliti dan tanggung jawab moral tinggi. Analisis itu haruslah memasukkan “efek gempa” yang potensial terjadi pada saat analisis bangunan dikerjakan. Kita tidak boleh main-main dan alakadarnya bekerja. Kita sudah dikaruniai Tuhan dengan akal, ikhtiat terbaik dan sadar akan ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Kita harus mampu “membaca tanda-tanda alam”. Teori DDC (Direct Deformation Concept) yang sudah saya kembangkan sekian tahun, yang sudah terbukukan, serta terakui dalam bentuk HAKI, sangat layak diterapkan untuk kondisi sekarang dan Insya Allah untuk masa akan datang. Terhadap semua bangunan yang sudah terbangun, penulis menyarankan agar melakukan pemeriksaan secara berkala, terutama pada bangunan-bangunan yang sudah berumur. Salah satu kondisi wajib diperiksa adalah tanda-tanda potensial yang memungkinkan gedung miring atau roboh, antara lain melalui analisis mendalam tentang lantai dasarnya, keretakan keramik, keretakan dinding, dan balok yang berbentuk diagonal (dikenal dengan istilah “retak geser”), longsoran di sudut pondasi, dll.
Dalam perkara bangunan, terdapat tanggung jawab besar dalam mengerjakan sesuatu. Kerja yang dijalani harus dengan analisis tajam, tulus dan bersih. Dengan kata lain, kalau kita bekerja, hendaknya kita “bersih dalam hati, pikiran dan tindakan” kita. Pekerjaan konstruksi sebagai contoh, agar siapa pun yang membangun hendaknya berdasarkan pada ilmu, dikerjakan sesuai prosedur, ketentuan yang ada dan volume pekerjaan.
Budi pekerti harus diaplikasikan dalam konstruksi bangunan. Karena bencana terhebat justru bukan pada gempa bumi dan kerusakan yang ditimbulkannya, melainkan kerusakan pada budi pekerti kita. Selain kita salah membangun, tidak dapat berkah, kita juga bisa dilaknat oleh yang Maha Tahu dan Maha Kuasa.
Di lapangan, dalam merumuskan suatu proyek atau dalam menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi, termasuk para pengawas lapangan, haruslah bermotif dan berkelakuan baik yang didasarkan pada moral, jiwa memelihara dan menyelamatkan jiwa manusia. Dengan memelihara moralitas dalam dunia konstruksi, kesalahan fatal bisa diminimalisir. Kita juga terhindar dari kebiasaan manipulasi pekerjaan, termasuk mengambil hak-hak orang lain, membagi-bagi fee atau sogokan, sehingga pada akhirnya ada keringat orang lain yang kita makan dan masa depan generasi kita rusak karena nafsu material kita berlebihan.